Wednesday, September 30, 2009

Dampak Lumpur Lapindo dalam Dua Versi

Pada hari Jum’at 25 September, saya menonton acara Kick Andi di Metro TV yang membahas tentang masalah Lumpur Lapindo. Di acara tersebut dihadirkan beberapa narasumber yaitu ada dari pihak korban lumpur lapindo, dan ada juga pemerhati sosial dan sosiolog. Berikut data dan keterangan yang sempat saya tulis dari penjelasan para korban lumpur lapindo dan pemerhati sosial atau sosiolog di acara tersebut:

• Ibu Tuini, seorang korban lumpur lapindo mengatakan bahwa keadaan perekonomian keluarganya sangatlah memprihatinkan di banding dulu sebelum adanya lumpur. Penghasilan kelurganya sekarang tidak menentu, ia sekarang biasanya hanya menjual lontong itupun tidak rutin jadi ia juga terkadang menganggur. Katanya dulu ia dan para korban lumpur lainnya pernah menerima uang sebanyak Rp. 800 ribu dari sesorang yang katanya dari pak SBY. Ditanya bagaimana ia menjalani lebaran tahun ini, Ibu Tuini mengatakan ia dan keluarganya berlebaran dengan menangis dan pada saat malam takbiran pun mereka sekeluarga menangisi penderitaan mereka.

• Hampir sama dengan Ibu Tuini, Pak Purwanto yang selama 3 juga tidak mempunya penghasilan yang tetap dan pasti, sekarang ia hanya mengontrak rumah atas sumbangan seseorang dan sampai sekarang ia belum menerima sepeser pun uang ganti rugi termasuk yang katanya uang ganti rugi sebanyak 20% yang telah dibagikan oleh pihak Lapindo Brantas.

• Begitu juga dengan Muh. Irsyad sangat kecewa terhadap tindakan pemerintah dan pihak lapindo brantas yang mana tidak ada langkah kongkrit untuk menanggulangi dampak lumpur jadi membuat kehidupan mereka tidak menentu, dulu ia mempunyai sawah yang menjadi lahan tempatnya bekerja, ia sangat menyesal dan mengharapkan seluruh pihak yang bersangkutan bertaubat jangan hanya banyak bicara dan lebih mementingkan bisnis bahkan pak Irsyad mengatakan pihak yang bersngkutan gila dan dia mengatakan kepada semua korban bahwa mereka sekarang dijajah oleh bangsa sendiri. “Mereka punya mata tetapi tidak bisa melihat, mereka juga punya telinga tetapi tidak dapat mendengar, taubatlah” lanjut pak Irsyad.

• Lain lagi dengan Ibu Harwati seorang janda berumur 34 tahun yang dulu sebelum terjadi lumpur Lapindo menjual-jual barang campuran dan sekarang ia bekerja sebagai tukang ojek, suaminya meninggal karena diduga stress memikirkan keadaan keluarganya yang terkena dampak lumpur Lapindo. Sampai sekarang ia baru menerima uang ganti rugi dari pihak Lapindo Brantas sebanyak 20 % atau sekitar 30 jt dan masih terus menunggu uang ganti rugi sepenuhnya dari pihak yang bersangkutan.

• Ada juga seseorang yang sebelumnya ia bekerja sebagai tukang becak, sekarang ia bekerja tidak menentu terkadang menjadi kuli bangunan atau buruh tani. Menurutnya pekerjaannya dahulu lebih baik karena selain bisa lebih dekat dekat dengan keluarganya, dia pun mempunyai pendapatan tetap, tidak sama dengan sekarang yang mana penghasilannya tidak tetap.

• Farid hingga kini belum menerima sepeser pun dari uang ganti rugi dari pemerintah, dahulu ia membuka usaha penerbitan di rumahnya yang kalau ditaksir harga rumah sekaligus tempat usahanya tersebut sekitar 350 juta. Setahunya memang katanya pihak yang bersangkutan telah membayar ganti rugi sebanyak 20 persen, namun sekarang ia juga belum benerima sepeser pun dana tersebut. Ia pun telah berusaha menghubungi pihak pemerintah dan pihak lapindo brantas namun sampai kini belum ada tindak lanjut dari pihak tersebut. Katanya, mengatasi masalah lumpur lapindo harus “Lebih Cepat Lebih Baik, Jangan melanjutkan Penderitaan Korban Lumpur Lapindo.”

• Menurut kepala desa tempatnya tinggal, dulunya mereka percaya kepada janji2 presiden tetapi sekarang sudah berjalan 3 tahun belum terlaksana.

Sosiolog yang hadir di acara tersebut mengatakan ini adalah suatu kejahatan jadi selain harus melakukan ganti rugi juga harus diselesaikan dengan hukum. Lanjutnya, ia heran kenapa Abu Rizal Bakri mengatakan bersedia memberikan dana sebesar Rp. 1 trilyun kepada golkar jika ia terpilih, padahal hutangnya pada para korban lumpur lapindo belum dibayar. “Bukan hanya Aburizal Bakri yang bertanggungjawab tetapi pemerintahan SBY harus bertanggungjawab” katanya. “Kenapa kalau masalah publik ia lambat mengatasi, tetapi kalau masalah yang mengancam keselamatan dirinya langsung diatasi contohnya masalah terorisme.” “Anak-anak kehilangan keceriaan karena mereka tidak lagi mempunyai tempat menetap yang tetap dan mereka tidak bisa bersekolah dengan baik” lanjutnya.

Pada hari yang sama saya menonton di TV One yang juga membahas tentang lumpur lapindo, dan sangatlah berbeda drastis dengan keadaan korban lumpur Lapindo yang diberitakan oleh stasiun televisi metro TV, menurut para korban yang diwawancarai di TV One mereka sangat bersyukur terhadap langkah-langkah pemerintah dan pihak Lapindo Brantas yang mana telah melakukan langkah-langkah penanggulangan korban lumpur lapindo dengan baik contohnya karena mereka telah diberikan haknya oleh pihak yang bersangkutan dengan pembayaran ganti rugi dari pihak lapindo dalam hal ini dari Abu Rizal Bakri, yang katanya sudah mengeluarkan dana sebanyak sekitar Rp. 6 trilyun untuk membayar ganti rugi kepada para korban lumpur. Ada juga yang saya lihat warga yang diwawancarai oleh pihak TV One yang sekaligus memperlihatkan tempat tinggalnya yang tergolong sangat layak, dengan rumah tinggal di perumahan yang terlihat elit dan luas. Katanya dia sangat bersyukur terhadap langkah-langkah yang diambil oleh pihak lapindo dan pemerintah. Dahulu katanya ia hanya mempunyai rumah yang sederhana dan sebuah motor sekarang setelah terjadi lumpur lapindo ia telah tinggal di rumah yang bagus serta mempunyai mobil. Para keluarganya pun heran dan seakan-akan tidak percaya kenapa kehidupan perekonomiannya sekarang lebih baik dari dulu sebelum terjadinya lumpur lapindo.

Saya menjadi heran kenapa orang dan para korban yang dijadikan narasumber di TV One mengatakan yang positif dan rasa syukur terhadap pihak Lapindo Brantas serta pemerintah, tetapi media lain mengatakan sebaliknya yakni para korban merasa menderita dan kecewa terhadap pihak yang bersangkutan. Fakta memang mengatakan bahwa tidak mungkinlah para korban bersyukur karena telah diubah kehidupannya oleh pihak yang bersangkutan, menjadi lebih sejahtera dan bahagia dibanding sebelum terjadinya lumpur dan juga kalau difikir secara logika, karena melihat kenyataan di sana yang mana lumpur semakin meluas dan sudah menenggelamkan rumah-rumah para warga sekitarnya, para korban yang sudah kehilangan bukan hanya materi semata tetapi sudah kehilangan sendi-sendi kehidupan mereka, sudah kehilangan mimpi-mimpi mereka, anak-anak mereka sudah kehilangan tempat mereka bermain dan bersekolah sehingga memupus harapan mereka untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik, dan ini jelas tidak bisa digantikan dengan apapun bahkan dengan materi sekalipun (itupun mustahil untuk dipenuhi) mengatakan bahwa mereka secara keseluruhan bersyukur terhadap apa yang mereka alami sekarang berkaitan dengan bencana lumpur lapindo yang melanda mereka dan sampai sekarang ini belum dapat teratasi semburannya.

Hal tersebut menjadi dasar bahwa sekarang ini media sudah terkikis semangat independennya, yang mana media sebagai sarana untuk memberikan informasi dari pemerintah kepada rakyatnya, informasi antara sesama warga Negara, dan informasi aspirasi dari rakyat kepada pemerintah yang di dalam pelaksanaannya harus independen dan lebih mengarah kepada kebenaran fakta, bukannya kebenaran yang diada-adakan untuk tujuan tertentu, pribadi, golongan,…...….(?) Pemberitaan yang tidak betul secara keseluruhan akan menjadikan masyarakat yang menjadi subyek tidak akan menerima hak-haknya dengan baik dan adil karena tidak ada lagi sarana informasi faktual yang menginformasikan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat. Oleh karena informasi yang benar meskipun pahit menjadi rujukan masyarakat memberikan kritik dan masukan yang membangun.
Tidaklah etis dan masuk akal jika segala yang dilakukan pemerintah tanpa memandang baik dan buruknya selalu didukung oleh pemberitaan positif oleh media. Jika kita hanya diam saja melihat keadaan seperti ini, bisa-bisa tidak akan ada lagi kebenaran yang sesuai dengan fakta Nampak, semua yang diperlihatkan hanya segelintir kenyataan dan menyembunyikan banyak kenyataan. Sudah saatnya mata dan telinga kita dibuka lebar-lebar dan kita memberikan kritikan terhadap kesalahan siapapun itu apalagi ini bukan masalah individu tetapi masalah orang banyak yaitu masyarakat Indonesia.,.

Juga menjadi dosa yang semakin bertumpuk jika kebenaran hakiki disembunyikan dan lebih menonjolkan kebenaran parsial atau kebenaran yang tidak mewakili sampel secara keseluruhan. Saatnya media berani mengiformasikan kebenaran meskipun pahit, dan berani memberikan kritikan yang membangun kepada pemerintah untuk kebaikan negeri kita yang tercinta ini.

No comments:

Post a Comment

Silahkan Masukkan Komentar Anda